Bonjour,
Akhirnya...saya pun ber-week-week-an di NCC :) Gegara terintimidasi buku ragi alami yang ditulis Sang Jin Ko, terwujudlah roti boy dari kurma yang terfermentasi.
Saya memilih kurma, bukan kismis atau buah lainnya, karena ingin memanfaatkan buah yang cukup lama bengong di kulkas. Setelah bingang-bingung mencari toples wadah fermentasi, ujung-ujungnya saya memperbudak dua toples milik ibu mertua plus satu jar bekas saus hoisin berukuran 250 ml.
Ya, saya bereksperimen membuat ragi alami dengan tiga perlakuan. Toples pertama, saya taruh di suhu ruang. Toples kedua, saya simpan di kotak terbuat dari styrofoam. Sementara jar kecil saya masukkan ke lunch box hasil berburu di NCC-Garage Sale :)
Proses prefermentasinya sbb:
1. Sterilisasikan toples beserta tutupnya dengan merebus mereka dalam panci bertutup selama 5 menit.
2. Diamkan toples hingga mencapai suhu ruang.
3. Masukkan 100 g potongan kurma, 250 ml air matang, 2 sdt gula pasir, dan 1/2 sdt air jeruk lemon ke dalam toples. Khusus jar kecil, saya berlakukan masing-masing setengah takar utk semua komponen.
4. Tutupi wadah namun jangan terlalu rapat agar karbondioksida yang dihasilkan dari proses fermentasi masih bisa keluar dari sela-sela tutup toples.
5. Simpan di tempat yang bersuhu stabil.
Dua puluh empat jam kemudian saya mengaduk pelan masing-masing toples dengan sendok yang sudah dibilas air matang.
Dua puluh empat jam berikutnya, sudah terlihat semua kurma mengapung di permukaan air. Melihat kondisi ini saya tidak lagi mengaduk toples. Saya perhatikan ada aktivitas makhluk hidup di dalam sana. Gelembung-gelembung udara bergerak dari dasar toples menuju permukaan air. Halus namun sangat jelas terlihat. Di beberapa sisi toples tampak gelembung udara terperangkap di sela-sela potongan kurma. Ah, dunia renik yang menakjubkan!
Hari ketiga atau 72 jam sejak aktivitas ini dimulai, saya putuskan untuk menghentikan fermentasi. Mengapa? Karena semua kurma telah mengapung dengan banyak gelembung udara. Sang Jin bilang, jangan terlalu berpatokan pada waktu fermentasi seperti di buku. Kondisi lapangan juga bahan yang digunakan sangat menentukan lama tidaknya proses fermentasi.
Air ragi pun saya dapat setelah menyaring isi masing-masing toples. Saya catat kondisi tiap perlakuan, termasuk waktu memulai tahap selanjutnya yaitu membuat ragi biang. Ragi biang I saya buat dengan mencampurkan 100 g air ragi, 100 g terigu protein tinggi, dan 2 g garam. Setelah ditutup dengan plastic wrap, saya biarkan di suhu ruang. Dua puluh empat jam kemudian, volume adonan terlihat lebih besar dua kali lipat.
Sekarang waktunya membuat ragi biang II. Cara saya sedikit berbeda dengan Sang Jin Ko. Perbandingannya sama hanya volumenya berbeda. Ragi biang I di tiap toples saya buat semua menjadi ragi biang II. Tutup lagi dengan plastic wrap, diamkan hingga 12-18 jam.
Di bukunya, Sang Jin Ko bilang hasil fermentasi tahapan ini sudah bisa digunakan untuk membuat roti. Saya coba gunakan untuk membuat pao isi cokelat. Resepnya ngarang sendiri :) Dengan mengingat-ingat pembuatan pao dengan ragi instan, saya coba terapkan proses tersebut pada pao dengan ragi alami. Oya, adonan biang yang saya gunakan untuk membuat pao berasal dari air ragi dalam jar kecil.
Seharian membuat pao berbentuk bunga, ternyata hasilnya tidak seperti yang saya harapkan. Adonan yang sudah dibentuk tidak mengembang layaknya adonan pao yang saya buat dengan ragi instan. Ibarat adonan kue, saya sudah menduga hasilnya akan bantet. Tapi rasa penasaran terus memburu kepala. Saya kukus 9 buah pao dan cicipi setelah saya anggap matang. Ternyata oh ternyata...pao isi cokelat itu terasa asam!
Rasa asamnya memang tidak seperti asam makanan basi. Samar saja tapi tetap terasa di lidah saya. Saya buka lagi buku Sang Jin Ko. Dia hanya bilang, bila ragi terasa sangat asam, sebaiknya dibuang. Agak subyektif bahasanya karena definisi asam buat masing-masing orang akan sangat berbeda. Browsing sana-sini, tanya sama Papa Mertua yang lulusan Biologi ITB, alhamdulillah...rasa asam itu kemungkinan besar berasal dari bakteri Acetobacter yang lazim menghasilkan asam cuka. Jadi, tidak berbahaya ya!
Kenapa saya gak buang aja semua pao dan adonan biang yang masih ada? Pertama, di luar dugaan, anak saya doyan sekali pao yang terasa sedikit asam itu. Dengan jawaban mertua, saya menjadi lebih tenang. Anak saya tidak keracunan makanan yang dibuat emaknya :) Kedua, mengenai adonan biang yang masih tersisa itu, saya masih sangat penasaran. Saya cicipi air ragi yang baru keluar kulkas. Wanginya seperti tape, tidak berbau busuk. Rasanya manis dan memang samar-samar terasa asam.
Saya putuskan membuat adonan biang tahap III sama persis seperti yang tertulis di buku Sang Jin Ko. Kali ini saya gunakan air ragi dari toples yang berada di suhu ruang. Setelah beberapa jam berlalu, saya lihat volumenya tidak banyak berubah. Akhirnya saya buat adonan biang tahap IV. Caranya, dari adonan biang III, saya ambil 50 g lalu dicampurkan dengan 50 ml air ragi dan 50 g terigu protein tinggi. Tidak saya tambahkan garam supaya aktivitas kapang tidak terhambat.
Alhamdulillah, enam jam kemudian volume adonan biang IV ini mengembang dengan pesat. Segera saja saya tambahkan bahan-bahan lain untuk dijadikan roti moka alias Roti Boy :) Oya, kesimpulan sementara saya, adonan biang II kurang powerful. Setelah ditambahkan air ragi, barulah adonan biang saya bertambah volumenya seusai proses fermentasi.
Bersumber dari resep Roti Moka di buku Sang Jin Ko, resep berikut sudah saya sesuaikan dengan bahan-bahan yang digunakan kemarin.
Bahan roti: (untuk 15 buah):
300 g tepung terigu protein tinggi
150 g ragi biang tahap IV
36 g gula pasir
6 g garam (aku gak pakai garam)
36 g telur (dipecahkan di wadah lain, kocok, baru ditimbang sesuai resep)
42 g margarin
132 ml susu UHT (aslinya: 50 ml susu, 60 ml air)
Isian:
Butter beku (di buku tertulis margarin)
Bahan topping:
120 g gula bubuk
120 g margarin
96 g telur (aku bulatkan menjadi dua buah telur ukuran kecil, kira-kira 100 g)
1 bungkus (20 g) kopi instan (aku pakai Alicafe)
1 sdt pasta moka
120 g tepung terigu protein rendah, ayak
Cara membuat roti:
1. Campur adonan biang, terigu, gula pasir, dan telur. Tambahkan susu sedikit demi sedikit, uleni hingga tidak lengket di tangan. Masukkan margarin, uleni lagi sampai kalis elastis.
2. Bagi dan timbang adonan, masing-masing dengan berat 50 g. Letakkan di atas loyang, diamkan selama 30 menit pada suhu ruang.
3. Pipihkan adonan, isi dengan butter beku. (Saya isi masing-masing adonan dengan 10 g butter.)
4. Bulatkan adonan hingga isian tertutup, usahakan lipatan terletak di bawah. Letakkan lagi di atas loyang dengan jarak sekitar 3-4 cm. Biarkan mengembang dua kali lipat, sekitar 90-120 menit pada suhu ruang.
5. Ambil bahan topping, masukkan ke dalam plastik segitiga. Gunting sedikit ujung plastik. Semprotkan melingkar seperti obat nyamuk, mulai dari tengah adonan memutar ke arah luar.
6. Panggang adonan dengan suhu 170-180 derajat Celcius selama 20-30 menit atau hingga matang menurut oven masing-masing. (Saya menggunakan oven listrik yang panasnya kurang joss dibandingkan otang kesayangan :))
Cara membuat topping:
Kocok margarin dan gula halus hingga merata. Masukkan telur sedikit demi sedikit. Tambahkan kopi instan dan pasta moka. Masukkan terigu. Aduk hingga tercampur rata.
Hasilnya menurut saya kurang manis dibandingkan Roti Boy. Tapi buat keluarga suami yang memang kurang suka rasa manis, roti moka dengan ragi alami ini sungguh pas di lidah. Rotinya empuk dan tidak tercium bau ragi sama sekali seperti halnya bau yang ditimbulkan ragi instan. Rasa asam yang saya khawatirkan ternyata tidak ada sama sekali.
Alhamdulillah, sepupu-sepupu suami yang ikut makan juga bilang enak :) Sisa empat buah roti dibawa pulang oleh mereka. Laris manis tanjung kimpul!
No comments:
Post a Comment